Neng, Hayuk Ka Dago!

Kalimat ajakan itu dikatakan dengan lembut, bahkan terdengar santun kepada serombongan anak-anak perempuan. Neng, hayuk ka Dago...!. Entah kenapa, sejak itu ilalang di kepala saya tak berhenti bernyanyi.

Saat itu, nyaris jam setengah 3 sore seminggu yang lalu. Saya sedang berada di Bandung, baru saja usai mengikuti seminar dan lokakarya SDGs. Tak jelas oleh sebab apa saya berada dalam angkot jurusan Dago. Naik dari Dipatiukur, ah mungkin karena menunggu taksi GR tak kunjung bertemu.  

Entah di belokan ke berapa, tiba-tiba angkot berhenti di depan sebuah sekolah. Serombongan bocah perempuan berseragam pramuka sedang berdiri di depan sekolah. Kepada serombongan bocah perempuan itu sopir angkot berkata, 
"Neng, hayuk ka Dago...!"
Anak-anak perempuan itu serentak menjawab, "Nggakkkk...!"

Saya menyaksikan dengan senyum muram. Betapa ngawurnya orang sopir angkot itu. Tanpa bertanya dulu kemana jurusan pulang anak-anak itu, dia langsung menawarkan ke Dago, wew. Kelihatannya perngawuran dilakukan kepada siapa saja. Sebab baginya tak ada waktu untuk menanyakan jurusan mereka kemana, yang penting dia trayek Dago dan semua orang ditawarkan ke Dago. 

Hanya, ketika dilakukan kepada anak-anak, anak perempuan terutama, dan sepanjang hidup mereka sopir angkot dll melakukan perngawuran seperti itu, bisa jadi inilah salah satu potensi pemicu kenapa cabe-cabean kita tinggi 

Saat mereka sudah remaja, ada masalah di sekolah atau di keluarga, tawaran lembut dan sopan ke Dago itu bisa jadi diterima. Betapa tanpa sadar orang dewasa sering menjerumuskan atau melakukan pelecehan kepada anak-anak.

Neng, hayuk ka Dago. Ah, sudahlah. Mungkin perngawuran seperti itu tak bermakna apa-apa buat mereka. Mungkin kekhawatiran saya berlebihan. Salam.


Comments